Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 03 Februari 2012

Perencanaan dan Pengembangan Berkelanjutan pada Obyek dan daya Tarik Wisata

Pengembangan pariwisata adalah salah satu bagian dari manajemen yang menitikberatkan pada implementasi potensi obyek dan daya tarik wisata yang harus dilaksanakan dengan rentang waktu, berupa langkah sistematis yang dapat mengarah pada pencapaian hasil. Hasil yang diharapkan pada perencanaan manajemen dengan kegiatan yang spesifik ini adalah untuk mencapai tujuan dan sasaran dari rencana yang dibuat sebelumnya (Wetipo, 2003:19). Menurut Spillane (2002) terdapat lima unsur penting dalam suatu obyek yaitu: (1) hal-hal yang menarik perhatian wisatawan (attraction); (2) fasilitas-fasilitas yang diperlukan (facilities); (3) infrastuktur (infrastructure); (4) jasa pengangkutan (transportation); dan (5) keramahtamahan dan kesediaan untuk menerima tamu (hospitality) (Puspa, 2006:11).

Inskeep (1991 dalam Puspa, 2006: 36) menyatakan bahwa perencanaan pariwisata menggunakan konsep perencanaan umum yang disesuaikan dengan karakteristik dari jenis pariwisata yang ingin dikembangkan. Pendekatan perencanaan dasar mengarah pada aplikasi dalam penerapan kebijakan serta dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata. Proses perencanaan dasar yang diterangkan sebelumnya menyediakan kerangka perencanaan yang umum dan penekanan ditempatkan pada konsep perencanaan menjadi berkesinambungan, berorientasi system, menyeluruh, terintegrasi dan lingkungan dengan fokus pada keberhasilan pengembangan yang dapat mendukung keterlibatan masyarakat.

Menurut Getz (1987:93) dan Page (1995) terdapat lima pendekatan dalam mengembangkan pariwisata, antara lain:

1. Bossterm yaitu: suatu pendekatan sederhana yang melihat pariwisata sebagai suatu atribut positif untuk suatu tempat dan penghuninya. Namun masyarakat setempat tidak dilibatkan dalam proses perencanaan dan daya dukung wilayah tidak dipertimbangkan secara matang.

2. The economic-industry approach (pendekatan ekonomi-industri) yaitu: pendekatan pengembangan pariwisata yang tujuan ekonominya lebih didahulukan dari tujuan sosial dan lingkungan dan menjadikan pengalaman pengunjung dan tingkat kepuasan sebagai sasaran utama.

3. The physical-spatial approach (pendekatan fisik-keruangan), yaitu: pendekatan ini didasarkan pada tradisi “penggunaan lahan” geografis. Strategi pengembangannya berdasarkan perencanaan yang berbeda-beda melalui prinsip-prinsip keruangan (spatial). Misalnya pengelompokan pengunjung di satu kawasan dan pemecahan-pemecahan tersebut untuk menghindari kemungkinan terjadinya konflik. Hanya saja kekurangan dari pendekatan ini adalah kurang mempertimbangkan dampak sosial dan kultur dari pengembangan wisata.

4. The community approach (pendekatan kerakyatan), yaitu: pendekatan ini lebih menekankan pada pentingnya keterlibatan maksimal dari masyarakat setempat di dalam proses pengembangan pariwisata. Pendekatan ini menganggap pentingnya suatu pedoman pengembangan pariwisata yang dapat diterima secara sosial (socially acceptable). Pendekatan yang dilakukan adalah menekankan pentingnya manfaat sosial dan kultural bagi masyarakat lokal secara bersama-sama termasuk di dalamnya pertimbangan ekonomi dan lingkungan.

5. Sustainable approach (pendekatan keberlanjutan), yaitu: pendekatan berkelanjutan dan berkepentingan atas masa depan yang panjang serta atas sumber daya dan efek-efek pembangunan ekonomi pada lingkungan yang mengkin menyebabkan gangguan kultural dan sosial yang memantapkan pola-pola kehidupan dan gaya hidup individual.

Dari kelima pendekatan tersebut yang menjadi fokus dalam pengembangan kepariwisataan Desa Tihingan ini adalah pendekatan pariwisata kerakyatan (the community approach). Pariwisata kerakyatan merupakan sebuah bentuk pengembangan yang berpihak kepada masyarakat, khususnya masyarakat lokal. Masyarakat, khususnya masyarakat lokal ikut berperan serta dalam setiap pengembangan yang dilakukan di daerahnya.

Menurut Subagyo (1991) kehidupan desa sebagai tujuan wisata adalah desa sebagai obyek sekaligus juga sebagai subyek dari kepariwisataan yaitu sebagai penyelenggara sendiri dari berbagai aktifitas kepariwisataan, dan hasilnya akan dinikmati oleh masyarakatnya secara langsung. Oleh karena itu peran aktif dari masyarakat sangat menentukan kelangsungan kegiatan pedesaan ini (Suryasih, 2003:18).

Dilihat dari perspektif kehidupan masyarakatnya, pariwisata pedesaan merupakan suatu bentuk pariwisata dengan obyek dan daya tarik berupa kehidupan desa yang memiliki ciri-ciri khusus dalam masyarakatnya, panorama alamnya, dan budayanya, sehingga mempunyai peluang untuk dijadikan komoditi bagi wisatawan, khususnya wisatawan asing (Suryasih, 2003: 18).

Pendekatan dasar yang sering dipergunakan dalam perencanaan pengembangan obyek daya tarik wisata pedesaan adalah menggunakan pendekatan kerakyatan (community approach/ community based) dan environment planning (Marpaung, 2000: 49). Hal ini disebabkan karena masyarakat lokal yang akan membangun, memiliki dan mengelola langsung fasilitas wisata serta pelayanannya, sehingga dengan demikian masyarakat dapat menerima secara langsung keuntungan ekonomi serta mencegah terjadinya urbanisasi (Mendra, 2005).

Adanya reformasi di Indonesia mengakibatkan pergeseran paradigma pembangunan dengan model top down menjadi bottom up planning. Paradigma ini muncul di berbagai sektor pembangunan termasuk dalam bidang pembangunan pariwisata. Kedua model pembangunan ini banyak didiskusikan oleh kalangan akademisi maupun praktisi, namun hingga kini belum menghasilkan suatu konklusi. Untuk negara yang sedang berkembang dimana infrastruktur organisasi perencanaan yang masih sangat lemah dan juga kemampuan sumber daya manusia yang belum merata, ada kecenderungan untuk menggabungkan kedua sistem pendekatan tersebut (Paturusi, 21).