Pariwisata merupakan kegiatan bersenang-senang yang melibatkan banyak orang, ditandai dengan adanya perpindahan (mobilisasi) dari satu tempat yang merupakan tempat tinggalnya ke tempat lain yang bukan tempat tinggalnya, dimana perpindahan ini tidak bertujuan untuk menetap, mencari nafkah. Fenomena ini menimbulkan berbagai macam unit usaha (kegiatan bisnis) yang menimbulkan berbagai macam dampak positip maupun dampak negatif.
Selama ini, pariwisata belum dianggap sebagai sebuah ilmu yang berdiri sendiri. Hal ini disebabkan karena pariwisata itu sendiri merupakan aplikasi dari berbagai macam ilmu yang diterapkan dalam sektor pariwisata. Namun pada tanggal 31 Maret 2008 menjadi tonggak sejarah pengakuan pariwisata sebagai ilmu. Pada saat itu keluar surat dari Dirjen Dikti Depdiknas No.947/D/T/2008 dan 948/D/T/2008, yang ditujukan kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata yang secara eksplisit menyebutkan bahwa DIRJEN DIKTI dapat menyetujui pembukaan jenjang Program Sarjana (S1) dalam beberapa program studi pada STP Bali dan STP Bandung. Dengan diizinkannya pembukaan program studi jenjang sarjana (akademik) ini juga berarti ada pengakuan secara formal bahwa pariwisata adalah sebuah disiplin ilmu yang sejajar dengan disiplin-disiplin ilmu lainnya.
Status keilmuan pariwisata didekati dengan persyaratan dasar suatu ilmu, yakni : Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
Dari sisi Ontologi, Ilmu pariwisata harus mampu menyediakan informasi ilmiah yang lengkap tentang hakikat pelancongan, gejala pariwisata, wisatawannya sendiri, prasarana dan sarana wisata, objek-objek yang dikunjungi, sistem dan oranisasi, dan kegiatan bisnisnya, serta semua komponene pendukung di daerah asal wisatawan maupun di daerah destinasi wisata. Tetapi sebelum ilmu pariwisata menyajikan sekaligus menjelaskan teori-teori dan banyak informasi aktualnya, sebaiknya dilakukan suatu studi atau pengkajian mendasar secara menyeluruh dan cermat. Oleh sebab itu pertimbangan filsafati terhadap pembentukan ilmu pariwisata perlu dilakukan dengan menekankan tiga aspek pokok, yakni ontologi, epistemologi dan aksiologi . Ilmu pariwisata juga harus dibangun berdasarkan suatu penjelasan yang mendalam, tidak terburu-buru dan perlu dibuatkan taksonominya. Setiap ilmu memiliki objek material dan objek formal. Objek material adalah seluruh lingkup (makro) yang dikaji suatu ilmu. Objek formal adalah bagian tertentu dari objek material yang menjadi perhatian khusus dalam kajian ilmu tersebut. Sesungguhnya objek formal inilah yang membedakan satu ilmu dnegan ilmu yang lain. Disini secara asumtif dapat dikatakan bahwa objek formal kajian (aspek ontologi) ilmu pariwisata adalah masyarakat. Oleh sebab itu pariwisata dapat diposisikan sebagai salah satu ilmu sosial karena focus of interestnya adalah kehidupan masyarakat manusia.
Selama ini, pariwisata belum dianggap sebagai sebuah ilmu yang berdiri sendiri. Hal ini disebabkan karena pariwisata itu sendiri merupakan aplikasi dari berbagai macam ilmu yang diterapkan dalam sektor pariwisata. Namun pada tanggal 31 Maret 2008 menjadi tonggak sejarah pengakuan pariwisata sebagai ilmu. Pada saat itu keluar surat dari Dirjen Dikti Depdiknas No.947/D/T/2008 dan 948/D/T/2008, yang ditujukan kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata yang secara eksplisit menyebutkan bahwa DIRJEN DIKTI dapat menyetujui pembukaan jenjang Program Sarjana (S1) dalam beberapa program studi pada STP Bali dan STP Bandung. Dengan diizinkannya pembukaan program studi jenjang sarjana (akademik) ini juga berarti ada pengakuan secara formal bahwa pariwisata adalah sebuah disiplin ilmu yang sejajar dengan disiplin-disiplin ilmu lainnya.
Status keilmuan pariwisata didekati dengan persyaratan dasar suatu ilmu, yakni : Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
Dari sisi Ontologi, Ilmu pariwisata harus mampu menyediakan informasi ilmiah yang lengkap tentang hakikat pelancongan, gejala pariwisata, wisatawannya sendiri, prasarana dan sarana wisata, objek-objek yang dikunjungi, sistem dan oranisasi, dan kegiatan bisnisnya, serta semua komponene pendukung di daerah asal wisatawan maupun di daerah destinasi wisata. Tetapi sebelum ilmu pariwisata menyajikan sekaligus menjelaskan teori-teori dan banyak informasi aktualnya, sebaiknya dilakukan suatu studi atau pengkajian mendasar secara menyeluruh dan cermat. Oleh sebab itu pertimbangan filsafati terhadap pembentukan ilmu pariwisata perlu dilakukan dengan menekankan tiga aspek pokok, yakni ontologi, epistemologi dan aksiologi . Ilmu pariwisata juga harus dibangun berdasarkan suatu penjelasan yang mendalam, tidak terburu-buru dan perlu dibuatkan taksonominya. Setiap ilmu memiliki objek material dan objek formal. Objek material adalah seluruh lingkup (makro) yang dikaji suatu ilmu. Objek formal adalah bagian tertentu dari objek material yang menjadi perhatian khusus dalam kajian ilmu tersebut. Sesungguhnya objek formal inilah yang membedakan satu ilmu dnegan ilmu yang lain. Disini secara asumtif dapat dikatakan bahwa objek formal kajian (aspek ontologi) ilmu pariwisata adalah masyarakat. Oleh sebab itu pariwisata dapat diposisikan sebagai salah satu ilmu sosial karena focus of interestnya adalah kehidupan masyarakat manusia.
0 komentar
Posting Komentar